8 Universitas Negeri Terjangkit Gerakan Islam Eksklusif

Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (LPPM UNUSIA), memaparkan hasil penelitian tentang merebaknya gerakan Islam eksklusif-transnasional di delapan perguruan tinggi negeri (PTN) di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Riset dilakukan pada Desember 2018 hingga Januari 2019.
Peneliti LPPM UNUSIA, Naeni Amanulloh mengatakan, delapan kampus yang dijangkiti gerakan Islam eksklusif-transnasional itu di antaranya Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), IAIN Purwokerto, Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), UNS Surakarta, IAIN Surakarta, Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY).
Naeni menuturkan, aktor gerakan Islam eksklusif-transnasional ini di antaranya kelompok tarbiyah, salafi hingga hizbut tahrir. Kontestasi ideologi di antara mereka berlangsung cukup dinamis dan bisa menyusup masuk ke dalam PTN melalui organisasi seperti Lembaga Dakwah Kampus (LDK).
“Gerakan-gerakan tadi mampu bergerak secara sistematis dan corenya di kampus,” ujar Naeni di Hotel Sofyan, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (25/6/2019)
Naeni menuturkan, kelompok dakwah yang paling dominan di LDK adalah jamaah tarbiyah dan hizbut tahrir. Kelompok salafi eksis namun sejauh ini belum mampu mendominasi di sana. Gerakan tarbiyah pada prosesnya melahirkan organisasi ekstra kampus seperti Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI).
Kelompok salafi cenderung apolitis dan tak membawa narasi Islam politik. Fokus kelompok ini ditekankan pada aspek syariah yang murni. Sedangkan KAMMI dan hizbut tahrir yang pada prosesnya melahirkan organisasi mahasiswa Gema Pembebasan, cenderung membawa serta politik sebagai bagian yang tak boleh ditinggal dalam beragama.
Corak gerakan KAMMI lebih memperjuangkan penerapan syariah di tengah masyarakat yang bergerak dari dalam sistem demokrasi. Sementara, Gema Pembebasan sebagaimana hizbut tahrir memposisikan negara beserta ideologinya termasuk demokrasi sebagai thaghut yang harus dilawan. Mereka meyakini solusi atas segala permasalahan adalah tegaknya khilafah.
“Pasca pembubaran HTI, kegiatan Gema Pembebasan turut tiarap. Namun bukan berarti HTI menjadi tiada. Propaganda HTI tetap berjalan di kampus melalui sayap mahasiswanya, Gema Pembebasan,” tutur Naeni.
Naeni menuturkan, gerakan Islam eksklusif tersebut berupaya menguasai posisi-posisi seperti Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di level universitas, fakultas, jurusan hingga masjid kampus. Mereka juga disebut melakukan pembinaan semacam pesantren berbasis kontrakan atau kost.
“Di arena-arena tersebutlah transmisi ideologi berlangsung dan dijaga kesinambungannya demi lancarnya kaderisasi,” terang dia.
Atas merebaknya paham keagamaan tersebut, kampus memiliki respons yang beragam. Misalnya saja merekrut dosen Pendidikan Agama Islam (PAI) dari kalangan moderat seperti kalangan NU dan Muhammadiyah. Lalu ada pula yang merombak struktur kepengurusan takmir masjid, hingga reposisi pejabat di tingkat dekanat, khususnya di bidang kemahasiswaan.
“Ada juga kampus yang menyelenggarakan shalawat dan kegiatan yang diisi tokoh moderat, pembentukan pusat anti radikalisme dan kajian Pancasila, pengetatan kualifikasi kepengurusan lembaga mahasiswa, hingga pesantren bagi mahasiswa baru yang tidak lulus tes baca tulis Alquran,” pungkas Naeni.
Leave a Reply